A. Rasional
Berbicara
tentang pendidikan berarti berbicara tentang upaya mengantarkan anak manusia
untuk dapat hidup layak dalam lingkungan masyarakatnya kelak. Tetapi seringkali
pendidikan justru menyebabkan manusia terasing dari lingkungannya, karena
kurang tepatnya arah dan proses penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan.
Seperti halnya terjadi dalam proses penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dewasa
ini. Kurikulum berorientasi pada isi (content)
yang selama ini digunakan telah mengarahkan proses pendidikan pada pengembangan
kemampuan kognitif yang tidak seimbang
dengan pengembangan kemampuan pada aspek lain seperti afektif, psikomotor, dan
kreativitas serta terlepas dari lingkungan, sehinga manusia yang dihasilkan
tidak mampu hidup layak dan tidak kreatif dalam lingkungan kehidupannya. Selain
itu, pendidikan kurang mampu mengembangkan potensi (human capacity) yang
dimiliki individu secara optimal, tetapi lebih pada pengembangan manusia
sebagai suatu sumberdaya yang harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
pembangunan. Melihat kenyataan seperti ini, maka amatlah tepat apabila
orientasi pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia mulai saat ini dan ke
depan lebih diarahkan pada human capacity development (HCD) secara
terintegrasi dengan pengembangan kecakapan hidup (life skills) dan bukan
human resources development (HRD).
HCD mengacu pada proses
pendidikan yang bermuara pada pengembangan seluruh potensi kecerdasan manusia
yang bersifat majemuk (multiple intelligence), serta menggali dan
mengembangkan keunggulan tersembunyi (hidden excellent) yang
dimilikinya. Proses pendidikan seperti ini bisa berlangsung apabila ditunjang
oleh suasana lingkungan belajar yang kondusif: ramah, menyenangkan, fleksibel,
gembira, multi-cara, multi-indrawi, manusiawi, mengasuh dengan penuh kasih
sayang, mengutamakan aktivitas
mental-emosional-fisik, bersifat inklusif/mengutamakan kerja sama, mementingkan
tujuan, dan berbasis pada hasil. Kondisi seperti ini mendorong peserta didik
belajar tanpa tekanan, sehingga dapat membangkitkan energi belajarnya.
Sementara itu, HRD lebih mengutamakan pengembangan potensi intelektual sebagai
tekanan utama, sehingga melahirkan lingkungan belajar yang kaku, membosankan,
behavioristik, verbal, mengendalikan, mengutamakan isi/materi, berorientasi
mental kognitif, dan berbasis pada kebutuhan. Kondisi seperti ini menimbulkan
energi belajar melemah sehingga peserta didik tidak mampu mengembangkan potensi
yang dimilikinya.
Kecakapan
hidup adalah kecakapan yang di miliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi
problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian
secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya
mampu mengatasinya.[1]
Artinya, kecakapan hidup tidak terbatas pada keterampilan untuk berkerja tetapi
lebih luas dari itu adalah kecakapan untuk menghadapi berbagai masalah hidup
dan kehidupan sekaligus mampu mencari dan menemukan pemecahanya. Ada lima
kecakapan dasar untuk menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yaitu: 1)
Kecakapan mengenali diri (Self-awarness), 2) Kecakapan berpikir (Thiking
Skills), 3) Kecakapan sosial (Social Skills), 4) Kecakapan akademik
(Academic Skills), dan 5) Kecakapan vokasional (Vocational Skills)[2].
Kelima kecakapan dasar ini perlu dikembangkan secara terintegrasi dalam
keseluruhan proses pendidikan, agar pendidikan mampu mengantarkan peserta didik
untuk bisa hidup layak pada kehidupannya kelak.
Berbagai
kondisi pada latar institusi pendidikan akan sangat mempengaruhi terhadap upaya
dalam membelajarkan peserta didiknya. Kajian dalam tulisan ini akan memfokuskan
pada dua masalah pokok yang terkait dengan tugas guru sebagai ujung tombak
keberhasilan institusi pendidikan dalam membelajarkan peserta didiknya.
1. Bagaimana
penyelenggaraan proses pendidikan dewasa ini?
2. Bagaimana
kegiatan pembelajaran seyogyanya dilakukan guru agar dapat membangkitkan energi
belajar pada diri siswa sehingga pembelajaran lebih efektif?
B. Penyelenggaraan Proses Pembelajaran Dewasa ini
Bagaimana proses penyelenggaraan
pembelajaran di institusi pendidikan kita dewasa ini dibandingkan dengan
perkembangan masyarakat pada era global? Jika kita telaah secara seksama,
paling tidak ada tujuh hal yang menunjukkan ketidak sesuaian antara proses
penyelenggaraan pendidikan di sekolah dengan tuntutan masyarakat global, yaitu
:
1. Sekolah
masih menyelenggarakan proses pembelajaran yang bersifat umum dan teoritik,
sementara pada masyarakat global setiap individu dituntut untuk dapat
menyelesaikan masalah yang bersifat spesifik.
2. Sekolah
menuntut setiap siswa untuk mastery matery, sementara di masyarakat
setiap individu dituntut untuk sharing jobs and responsibility.
3. Proses
pembelajaran di sekolah kurang menuntut siswa untuk menggunakan alat- alat
pikirnya (tool-lessthought), sementara di masyarakat dituntut untuk
mempu mengunakan peralatan kognitif (cognitive tools) secara optimal.
4. Proses
pembelajaran di sekolah lebih mengarah pada pengembangan berpikir simbolik (symbolic
thinking), sementara di masyarakat
dituntut untuk terlibat secara langsung (direct involved).
5. Di
sekolah anak didik cenderung bertindak sebagai penerima informasi yang pasif
dan guru bertindak sebagai satu-satunya sumber informasi (dengan segala
kekurangan dan kelebihannya), sementara mesyarakat di era global menuntut
kemampuan mencari, memilih, dan memilah informasi (information searching).
6. Proses
pembelajaran lebih bersifat individual dan kompetitif, sementara pada
masyarakat global menuntut kemampuan kooperatif dan kolaboratif.
7. Orientasi
tujuan pembelajaran ke arah pengembangan kemampuan kognitif (kecerdasan
intelektual) lebih mendominasi dalam proses pembelajaran, sementara masyarakat
global menuntut kemampuan kognitif, afektif, psikomotor, dan kreativitas yang
terintegrasi (baca: kompetensi).
Jika proses
penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung di institusi-institusi pendidikan
tidak dapat menyesuaikan dengan tuntutan yang dibutuhkan di masyarakat, pada
akhirnya institusi pendidikan tidak akan mampu mengantarkan para peserta
didiknya untuk dapat hidup dalam masyarakat tetapi justru sebaliknya akan
menyebabkan mereka terasing dari masyarakatnya. Oleh karena itu, institusi
pendidikan harus melakukan perubahan proses penyelenggaraan pendidikan secara
terus menerus untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan yang muncul dalam
kehidupan masyarakat. Meminjam kata dari Dryden dan Vos[3]
secara ekstrim dikatakan bahwa sekolah perlu melakukan revolusi pembelajaran (the
learning revolution) agar kita (bukan hanya peserta didik) dapat belajar
apapun dengan lebih baik dan lebih cepat dalam masyarakat global yang cenderung
cepat berubah dan tak terduga.
II. Bangkitkan Energi Belajar Melalui Belajar Kuantum
A. Pengertian Belajar Kuantum
Sebelum membahas
tentang belajar kuantum, pada bagian ini perlu ditekankan kembali pentingnya
melakukan revolusi pembelajaran. Jika
institusi pendidikan ingin berhasil mengantarkan para peserta didiknya untuk
mampu hidup layak dalam kehidupan masyarakatnya kelak, maka tidak ada resep
lain kecuali melakukan perubahan dan inovasi dalam kegiatan pembelajaran
secara kreatif dan terus-menerus. Bahkan bagi dunia persekolahan kita bukan
hanya sekedar perubahan biasa tetapi perlu melakukan revolusi pembelajaran. Revolusi
pembelajaran yang dilakukan jangan hanya terkait dengan implementasi KBK,
melainkan harus didasarkan pada keinginan mengembalikan fungsi pendidikan
sesuai dengan filosofinya, yaitu “mengantarkan anak didik menyosong hidupan
yang layak dalam masyarakatnya kelak”. Seperangkat metode pembelajaran dan
falsafah belajar yang diduga dapat mengembalikan fungsi pendidikan sebagaimana
mestinya adalah belajar kuantum (quantum learning), apabila dirancang
dan diimplementasikan secara benar.
Belajar kuantum berakar
dari prinsip “suggestology” atau “suggestopedia” yang
dikembangkan oleh Geogi Lozanov yang menjelaskan bahwa sugesti dapat dan pasti
mempengaruhi hasil belajar, dan setiap detail apapun memberikan sugesti positif
ataupun negatif.[4] Artinya, hasil belajar yang dicapai oleh anak didik
(pembelajar) akan baik apabila lingkungan, proses, dan sumber-sumber belajar
memberikan sugesti positif pada dirinya, demikian pula sebaliknya. Oleh karena
itu, agar terjadi belajar kuantum, ciptakanlah lingkungan belajar terbaik bagi
anak didik. Lingkungan belajar yang dapat menimbulkan pikiran dan sikap
positif. Lingkungan belajar yang aman dan mendukung bertumbuh dan berkembangnya
kepercayaan dan citra diri anak didik. Lingkungan belajar dengan suasana
nyaman, indah, cukup penerangan, dan bila perlu disertai alunan musik, dan
dudukung oleh proses belajar yang variatif, banyak terobosan, perubahan,
permainan yang edukatif, partisipatif, serta sumber-sumber belajar yang dapat
memberi pengalaman yang mampu meningkatkan “AMBAK”[5] dan menimbulkan getaran emosi (emotional thrill)
pada diri anak didik, “AHA”.[6]
Lingkungan dan
suasana belajar demikian akan mendorong kemunculan sugesti-sugesti positif
sehingga menjadi cahaya yang mampu menjadi lokomotif yang dapat membangkitkan
energi belajar. Ingatlah rumus yang sangat terkenal dalam fisika kuantum (E =
m.c2), energi sama dengan massa kali kuadrat kecepatan cahaya.
Pemberian label “belajar kuantum“ sesungguhnya meminjam dari konsep fisika
kuantum. Kenyataannya memang benar bahwa tubuh kita secar fisik adalah materi
yang memiliki massa dan dilengkapi dengan seperangkat peralatan belajar
termasuk otak. Ketika belajar, kita membutuhkan sebanyak mungkin cahaya:
kepercayaan diri, minat, motivasi, AMBAK, interaksi, hubungan,
kooperasi-kolaborasi, dan inpirasi untuk diubah menjadi energi pembangkit
belajar.
Belajar kuantum juga
terkait dengan aspek-aspek penting dari neurolinguistic program (NLP),
yaitu serangkaian penelitian yang mengkaji tentang bagaimana otak bekerja dalam
mengatur informasi.[7] Dengan demikian, belajar kuantum menghubungkan dua
bidang utama, yaitu hasil-hasil penelitian modern tentang otak yang menakjubkan
dengan kekuatan dari kemudahan memperoleh informasi dan pengetahuan. Artinya,
untuk membelajarkan anak, kita juga harus belajar bagaimana memanfaatkan
sumberdaya yang sangat brilian dalam diri manusia, hampir tidak terbatas daya
atau kemampuannyanya yang terdiri dari milyaran sel dan trilyunan penghubung,
yaitu otak. Selain itu, kemudahan dalam menggali informasi dalam
berbagai bentuk, hampir semua orang berkesempatan untuk memanfaatkannya, dan
menghubungkan setiap orang dalam jaringan global melalui jaringan internet yang
disebut learning web, harus kita manfaatkan seoptimal mungkin untuk
mempercepat revolusi pembelajaran melalui informasi dan inovasi. Selanjutnya,
merupakan kewajiban kita sebagai guru untuk mengemasnya dalam bentuk aktivitas
pembelajaran untuk membelajarkan anak didik.
Belajar kuantum juga
terkait erat dengan konsep “percepatan belajar” (accelerated learning),
yaitu yaitu seperangkat metode dan teknik pembelajaran yang memungkinkan anak
didik belajar dengan kecepatan yang mengesankan, tetapi melalui upaya yang
normal dan penuh keceriaan. Belajar kuantum
menyatukan permainan, hiburan, cara berpikir dan bersikap positif,
kebugaran fisik, dan kesehatan emosional yang terpelihara yang dikemas secara
sinergi dalam aktivitas pemebelajaran mendorong terjadinya belajar yang efektif
sehingga memungkinkan terjadinya percepatan belajar .
Gambaran ringkas
tentang belajar kuantum sebagaimana diutarakan di atas memberi isyarat kepada
kita bahwa pembelajaran yang orientasi tujuannya didominasi oleh upaya
peningkatan kemampuan kognitif saja, saat ini sudah tidak layak lagi. Hasil
penelitian Daniel Goleman memberi bukti
yang cukup mengejutkan bahwa aspek kognitif atau intelektual hanya 20%
sumbangannya terhadap keberhasilan seseorang dalam hidupnya, selebihnya yaitu
80% ditentukan oleh kecerdasan emosional.[8] Artinya kecerdasan emosional dan kecerdasan-kecerdasan
lainnya, sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual. Kenyataan ini mendorong
dilakukannya reorientasi tujuan dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran seyogyanya dilaksanakan dengan tujuan yang lebih berdeferensiasi
mencakup bukan hanya pada upaya peningkatan kecerdasan intelektual, melainkan
juga mencakup kecerdasan emosional dan kecerdasan lainnya, karena manusia
memiliki kecerdasan majemuk (multiple intelligence), dan belajar kuantum
memungkinkan untuk itu, jika dilaksanakan dengan baik dan terencana.
Pada akhir bagian ini
sekali lagi ditekankan bahwa revolusi pembelajaran mutlak perlu dilakukan
karena pembelajaran dewasa ini terlalu banyak mengandalkan pada kemampuan
mendengar anak dalam menangkap
materi pembelajaran, sehingga hasil belajar yang dicapai tidak maksimal. Padahal manusia adalah
makhluk unik, ia bisa belajar melalui : (1) pendengaran, (2) penglihatan, (3)
pengecapan, (4) sentuhan, (5) penciuman, (6) melakukan, (7) hayalan, (8)
intuisi, dan (9) perasaan. Semua kemampuan itu harus diberdayakan agar
kemampuan-kemampuan itu terlatih sekaligus pembelajaran menjadi lebih efektif.
Fleksibilitas metode dan teknik dalam belajar kuantum memungkinkan untuk
memberdayakan semua kemampuan itu.
B. Selintas
tentang Otak dan Cara Kerjanya
Penelitian tentang otak manusia telah dilakukan ratusan
bahkan ribuan tahun tahun yang lalu. Perkembangan penelitian yang sangat pesat
tentang otak manusia terjadi pada abad keduapuluh khususnya pada tahun 1990-an.
Pembahasan pada tulisan ini tidak akan mengupas tentang perkembangan teori
tentang otak manusia dari berbagai penelitian yang dihasilkan, tetapi akan lebih
menekankan pada teori tentang otak yang paling mutakhir yaitu teori belahan
otak dan pembahasannya pun tidak terlalu rinci, karena tulisan ini bertujuan
untuk memberikan memancing peserta untuk menelusuri dan mengkaji lebih dalm
tentang otak dan cara kerjanya.
Menurut teori belahan otak atau sering disebut teori otak
kanan otak kiri, otak terbagi kedalam dua belahan yaitu belahan otak kanan dan
belahan otak kiri. Kedua belahan otak ini terdiri dari cerebralcortex atau
neocortex termasuk belahan sistem limbic-nya. Kedua belahan otak
ini dihubungkan oleh tiga penghubung yaitu Corpus Colasum, Hippocompal
Commissure, dan Anterior
Commissure. Belahan otak kiri (left cortex) mengendalikan
bagian tubuh sebelah kanan sedangkan belahan otak kanan (right cortex)
mengendalikan bagian tubuh sebelah kiri. Belahan otak kiri berperan dalam
kegiatan motorik (motor sequence) sedangkan belahan otak kanan berperan
dalam kegiatan berkenaan dengan sonsor-sensor rasa (sensory sequence).
Pembagian fungsi berkenaan dengan mental skills untuk memproses dan
menyimpan informasi antara belahan otak kanan dengan belahan otak kiri berbeda.
Belahan otak kanan berhubungan dengan proses dan penyimpanan informasi tentang
gambar, imajinasi, warna, ritme, dan ruang; Dalam kerjanya otak kanan bersifat
acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Belahan otak kiri berhubungan dengan
bilangan/angka, kata-kata, logika, urutan atau daftar, dan detail atau
rincian-rincian. Dalam kerjanya, belahan
otak kiri berrsifat logis, sekuensial, linier, dan rasional.
Ada empat karakteristik utama dari
otak manusia dalam melaksanakan fungsinya, yaitu: (1) Spesialisasi; ada
pembagian fungsi secara khusus dari bagian-bagian otak. Misalnya, batang
otak (otak reptil) memiliki spesialisasi fungsi motor sensori, kelangsungan
hidup, hadapi atau lawan; Sistem limbic memiliki spesialisai fungsinya
dengan perasaan/emosi, berperan aktif dalam memori, bioritmik dan sistem
kekebalan; Neocorteks (otak berpikir) memiliki spesialisasi fungsi
berpikir intelektual, penalaran, perilaku waras, logika berbahasa, dan
kecerdasan tingkat tinggi. (2) Keterkaitan; otak penuh dengan berbagai
penghubung (connectors) yaitu serat-serat pada otak. Serat-serat ini
berfungsi sebagai pembawa pesan yang digunakan oleh berbagai bagian otak yang
berbeda untuk digunakan berkomunikasi antara satu dengan lainnya. (3)
Situasional; bagian-bagian otak dengan fungsinya masing-masing bekerja secara
situasional sesuai dengan sedang bekerja atau tidaknya bagian otak itu.
Misalnya ketika seorang sedang berkhayal maka otak yang berfungsi untuk
berkhayal menjalankan fungsinya sedangkan bagian otak lain seperti fungsi
berhitung istirahat. (4) Iterasi; yaitu gerak bolak-balik melalui
isyarat-isyarat (signal) diantara pusat-pusat spesialisasi pada otak baik pada belahan otak
yang sama maupun antar kedua belahan otak.
Agar otak bisa bekerja atau belajar
dengan baik, maka otak harus sehat. Kondisi eksternal mempengaruhi kondisi
internal otak. Ada empat fungsi dasar otak yang harus difungsinkan dengan benar
agar otak sehat, yaitu:
1. Struktur
fisik dan lingkungan kimiawinya; otak akan berkerja optimal bila secara fisik
sehat dan lingkungan kimiawinya tidak terkontaminasi oleh zat-zat asing seperti
alkohol, atau zat-zat adiktif lainnya.
2. Menerima
informasi dari waktu ke waktu melalui indra; agar otak bisa bekerja dengan baik
maka otak harus difungsikan sebagaimana mestinya dengan cara memperbanyak
informasi yang masuk kedalam otak melalui pengamatan indra secara
multi-indrawi.
3. Menyimpan
informasi masa lalu; Otak menyimpan informasi bukan dalam bentuk baris dan
kolom, tetapi dalam bentuk jaringan informasi atau sering disebut peta
pikiran. Latihlah otak kita untuk menyimpan informasi-informasi
penting yang sudah didapat pada masa lalu dalam bentuk peta pikiran.
4.
Mengasosiasikan
informasi lama dengan informasi baru; informasi baru hendaknya diasosiasikan
dengan informasi lama yang sudah ada sehingga menambah retensi dan informasi
menjadi bermakna.
Keempat fungsi dasar itu harus
djalankan dengan baik agar otak terlatih. Berbeda dengan barang lain yang
mengalami kerusakan atau kerjanya menjadi berkurang apabila sering dipakai,
otak justru semakin baik kerjanya apabila sering digunakan. Oleh karena itu,
gunakan otak kita untuk belajar sebagaimana fungsinya sebagai pusat belajar.
C. Kegiatan Pembelajaran untuk Mewujudkan Belajar Kuantum
Bagaimana kegiatan
pembelajaran seyogyakan dilakukan agar terjadi belajar kuantum? Terkait dengan
pertanyaan tersebut, ada beberapa hal
yang patut diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran agar efektif
atau terjadi belajar kuantum, yaitu:
1.
Learning is most effective when it’s fun
(Peter Kline).
Ciptakanlah suasana
yang menyenangkan pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Pecahkan
berbagai kendala belajar yang dialami oleh anak didik. Arahkan mereka untuk
bertumbuh dan berkembang menjadi dirinya sendiri dan tidak muncul. Tampilkan
suasana hati kita sebagai guru yang positif dan raihlah minat siswa. Jangan
mengendalikan anak didik tapi jadilah pengasuh yang baik (ingat bagaimana Anda
belajar secara kuantum ketika bertumbuh dan berkembang secara mengagumkan pada
rentang usia 0 hingga 6 tahun di bawah asuhan orang tua).
2.
To learn it, do it
(Robert C. Schank)
Jika belajar hanya dengan cara mendengarkan maka
konten yang dipelajari akan mudah lupa, jika dengan cara melihat mungkin akan
ingat tetapi belum tentu bisa, jika dengan cara melakukan maka seluruh indera
kita bekerja secara aktif sehingga akan lama diingat dan pasti bisa. Oleh
karena itu, lakukanlah kegiatan belajar itu dengan melibatkan anak secara aktif
bukan hanya sekedar fisik tetapi aktif secara mental-emosional. Ciptakanlah
alat peraga yang memungkinkan anak bisa bereksplorasi dengan melakukan berbagai
hal terkait dengan materi yang diajarkan. Bila perlu dan memungkinkan, bawalah
objek sesungguhnya yang dipelajari ke dalam kelas atau bawalah anak didik ke
lingkungan yang relevan dengan bahan yang dipelajari.
3.
Your brain is like a sleeping giant
(Tony Buzan)
Pelajarilah berbagai hasil penelitian mutahir tentang
cara kerja otak. Ubahlah pengetahuan kita tentang itu semua ke dalam tindakan
kita saat membelajarkan anak. Kembangkanlah kemampuan otak anak secara maksimal
melalui pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan kemampuan berpikir
tingkat tinggi, seperti berpikir analitis, kritis, dan pemecahan masalah.
Jangan biarkan otak anak didik kita terbaring terus dalam tidur yang panjang,
atau jangan biarkan otak anak bekerja sambil terkantuk-kantuk. Perhatikan agar
kemampuan belahan otak kanan dan kiri anak bisa berkembang secara seimbang.
4.
The traditional education system is
Obsolute (Richard L. Measelle)
Dewasa
ini kegiatan pembelajaran lebih cenderung bersifat tertutup dan mutlak. Jika
guru bertanya dan siswa menjawab tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka guru
akan menyalahkan seolah-olah jawaban yang benar itu mutlak/tertutup dan tidak
ada alternatif jawaban lain. Perlu diingat bahwa: “Anak didik tidak pernah
salah dalam menjawab pertanyaan, mereka menjawab sesuai dengan persepsinya atas
pertanyaan tersebut. Tugas kita adalah mencari pertanyaan yang benar untuk
jawaban tersebut.” Ciptakanlah pembelajaran yang terbuka (divergen)
agar berkembang kemampuan berpikir kreatif anak.
5.
Six main pathways to the brain : we learn
by what we see, what we hear, what we taste, what we touch, what we smell, and
what we do (Gordon Dryden)
Kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru cenderung
lebih banyak menggunakan metode ceramah sehingga para siswa belajar hanya
dengan mengandalkan kemampuan menyerap informasi melaui pendengaran saja,
padahal setiap individu memiliki gaya belajar yang berbeda sesuai dengan
kemampuan belajar yang menonjol pada dirinya (auditory, visual, dan
bodilykinestetics). Lebih parah lagi, secara umum terjadi ketika kita
melaksanakan kegiatan pembelajaran menggunakan metode ceramah, kita
menyampaikan presentasi dan eksplanasi yang cenderung “berbicara kepada
siswa” ketimbang “berbicara dengan siswa”. Akibatnya, paling tidak
(1) komunikasi menjadi satu arah, (2) siswa pasif menerima informasi dan
terkesan seperti tong kosong yang siap diisi dengan berbagai informasi yang mungkin
saja tidak sesuai dengan harapannya, (3) pembelajaran menjadi teacher center,
(4) potensi intelektual, personal, dan sosial siswa kurang bertumbuh dan berkembang, (5) kurang
memacu keterampilan berpikir siswa, (6) kecil kemungkinan terjadi self-discovery
learning, dan (7) kepercayaan
diri siswa melemah. Semua itu menyebabkan hasil belajar yang dicapainya tidak
maksimal. Oleh karena itu, ciptakan suasana pembelajaran yang memungkinkan
semua kemampuan belajar siswa berkembang.
6.
An idea is a new combination of old
elements (Gordon Dryden)
Guru seringkali memaksakan konsep atau materi baru
yang diajarkan tanpa mempertimbangkan pengetahuan yang telah dimiliki anak. Padahal manusia belajar dan membangun
pengatahuannya atas dasar pengetahuan yang sudah dimilikinya. Lakukanlah
pembelajaran dimulai dari apa yang sudah diketahui siswa.
Mencermati beberapa pemikiran cemerlang di
atas dan kaitannya dengan penyelenggaran pembelajaran, maka kita yakin bahwa
(1) semua anak bisa belajar apapun jika mereka senang melakukannya, (2) bagi
anak berbakat (bakat intelektual) belajarnya bisa dipercepat (accelerated
learning) jika suasana belajar kondusif untuk terjadinya percepatan
belajar, (3) pembelajaran bukan hanya mampu meningkatkan kemampuan atau
kecerdasan intelektual anak tetapi juga kecerdasan multiple anak.
Metode pembelajaran yang bagaimanakah yang
paling baik untuk terjadinya pembelajaran yang efektif dan efisien? Tentu saja
tidak ada metode yang paling baik, karena metode pembelajaran sangat terkait
dengan karakteristik materi pelajaran, sarana dan keterampilan guru dalam
melaksanakannya. Pada prinsipnya, quantum learning menuntut
diselenggarakannya kegiatan pembelajaran yang bersifat multi-method dan
multi-threat. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran yang harus dilakukan
ke depan disarankan mengunakan metode pembelajaran yang bersifat integratif
yang mampu membangkitkan seluruh energi pada diri anak didik untuk belajar,
salah satu contoh misalnya pembelajaran kooperatif–kolaboratif.
Bagaimana strategi pembelajaran yang harus
kita rancang agar dapat mebangkitkan energi belajar pada diri anak didik?
Berikut ini disajikan strategi umum yang pada penerpannnya dapat dikembangkan
dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang dihadapi. Strategi
yang dimaksud adalah:
1. Kegiatan
pra-instruksional
Keberhasilan guru dalam membelajarakan anak didik diawali
dari aktivitasnya dalam mengawali kegiatan pembelajaran (kegiatan
pra-instruksional). Apabila pada kegiatan pra-instruksional ini, guru mampu
membangkitkan energi belajar pada diri anak didik, maka keberhasilannya dalam
membelajarkan anak didik sudah di depan mata. Sebaliknya akan gagal jika pada
kegiatan awal guru tidak mampu membangkitkan energi belajar tersebut. Oleh
karena itu, strategi yang harus disiasati guru pada kegiatan pra-instruksional
adalah mengidentifikasi berbagai alternatif aktivitas maupun ungkapan verbal
yang cocok dengan usia anak didik yang dihadapi serta relevan dengan bahan
pembelajaran yang akan disampaikan, kemudian dikemas dengan apik dan cermat
untuk disajikan mengawali proses pembelajaran.
Suatu bentuk aktivitas pra-instruksional itu dakatakan cocok
apabila berdasarkan pemikiran rasional maupun pengalaman empirik sebelumnya,
aktivitas tersebut teruji dapat membangkitkan energi belajar berupa:
a. Kepercayaan
diri anak didik, mereka meyakini bahwa dirinya dapat berhasil menguasai bahan
yang akan dipelajarinya “saya pasti bisa”.
b. Meraih
minat anak didik, melalui aktivitas dan ungkapan-ungkapan yang disampaikan guru
menimbulkan minat dan rasa ingin tahu yang besar pada diri anak didik.
c. Menciptakan
AMBAK, mereka juga meyakini bahwa apa yang akan dipelajarinya memberi manfaat
bagi dirinya.
d. Mendorong
timbulnya motivasi belajar yang tinggi pada diri anak didik.
e. Mengaktifkan
mental perancah (scaffolding), apa yang sudah diketahui anak sebelumnya
merupakan bahan pengait yang akan menjadi mental perancah guna menguasai bahan
pembelajaran baru.
Aktivitas untuk membangkitkan itu semua dapat dilakukan
melalui beragam permainan, cerita pengantar diskusi, teka-teki, dan berbagai
aktivitas kreatif lainnya. Prinsipnya
hindari aktivitas atau ungkapan verbal yang dapat menimbulkan kontra-produktif.
2. Kegiatan
Utama
Apabila kegiatan pra-instruksional telah berhasil
membangkitkan energi belajar sehingga anak didik siap untuk belajar bahan
pembelajaran baru, maka langkah selanjutnya adalah merancang kegiatan inti yang
memungkinkan anak belajar dalam suasana yang aman, gembira, menyenangkan (tidak
tertekan) namun menantang. Bahan pembelajaran baru yang dimaksud meliputi: (1)
pengetahuan (knowledge), (2)
keterampilan (skills) baik keterampilan motorik, berpikir, dan
berbicara, (3) sikap dan nilai (attitude), serta (4) Pembiasaan
bertindak yang didasari oleh integritas kepribadian yang tinggi.
Kegiatan pembelajaran utama pada intinya harus memuat: (1)
Penjelasan disertai ilustrasi, analogi, dan metafora yang relevan dengan bahan
ajar dan cocok dengan perkembangan intelektual dan emosional anak. Dalam hal
ini, usahakan agar terjadi interaksi multi-arah. Artinya jangan sampai terjadi
dominasi ada di pihak guru. Lakukanlah teknik “berbicara dengan siswa” bukan
“berbicara kepada siswa”. (2) Pemberian contoh dan non-contoh untuk memantapkan
pemahaman anak terhadap bahan pembelajaran yang disampaikan. (3) Pemberian
latihan yang dapat mengembangkan pemahaman anak terhadap bahan pembelajaran.
Mulailah latihan dari hal-hal yang sederhana, dan berilah kesempatan anak yang
memiliki potensi lebih pada bidang studi tersebut untuk berlatih lebih banyak.
(4) Praktik untuk membiasakan anak
menggunakan apa yang sudah dipelajari ke dalam tindakan-tindakan nyata.
Pada praktiknya, guru dituntut untuk melakukan kegiatan
utama ini dengan multi-traits, multi-methods, dan multi-games,
sehingga melahirkan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk belajar dan
mengembangkan seluruh potensinya secara optimal. Guru bisa mengadopsi berbagai
permainan dari berbagai media dan memodifikasinya sesuai dengan kebutuhan untuk
digunakan sebagai teknik pembelajaran di kelas
3. Kegiatan
Penutup
Kegiatan ini merupakan bagian untuk mengevaluasi
keberhasilan guru dalam membelajarkan anak didik dan keberhasilan anak didik
dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Kegiatan penutup ini
juga merupakan sarana bagi guru maupun anak didik untuk mendapatkan umpan balik
(feedback) dan penetapan tindak lanjut yang harus dilakukan guru untuk
memperbaiki kelemahan, kesulitan dan kekurangan anak didik, serta memperbaiki
program pembelajarannya.
III. Penutup
Hidup
sepenuhnya bukan hasil dari keadaan atau lingkungan, tetapi semata-mata adalah
hasil VISI terhadap realita di sekitar kita. Sikap dan Visi mempengaruhi semua
segi kehidupan, mengatur semua aksi dan reaksi tanpa kecuali. Dengan kata lain,
segala perasaan dan tindakan diatur oleh Visi kita.
Kesanggupan
kita mewujudkan Visi, bergantung pada keyakinan akan kemampuan diri sendiri.
Keyakinan akan kemampuan diri sendiri bertanggung jawab atas sebagian besar
dari keberhasilan dan kegagalan kita dalam mewujudkan Visi. Sanggupkah kita
melakukan semua apa yang sudah kita bicarakan? Jawabannya hanya Anda yang tahu,
karena ada dalam pikiran Anda.
Saya
hanya bisa berpesan, kita adalah “gajah” yang besar dan kuat. Dengan kekuatannya, ia dapat dengan mudah mengangkat
beban seberat satu ton. Tapi saat ini, kita adalah “gajah” yang sedang
terikat pada sebatang kayu kecil oleh seutas tali yang kecil pula, dan hanya
bisa menjerit “I CAN’T …………!!!”
DAFTAR PUSTAKA
Anderson,
Lorin W. The Effective Teacher: Study Guide and Readings. New York:
McGraw-Hill Publishing Company, 1989.
Ballack
A. A., H.M. Klienbard, R.T. Hyman, and F.L. Smith. The Language of
Classroom. New York: Teachers College Press, 1966.
DePorter Bobbi and Mike Henarcki. Quantum Learning:
membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, alih bahasa Alawiyah
Abdurrahman. Bandung: Kaifa 2002.
Dryden, Gordon dan Jeannette Vos, The
Learning Revolution: To Change the Way the World Learns. New Zealand: The
Learning Web, 1999
Goleman, Daniel. Emotional Intelligence. London:
Bloomsbury, 2000.
Schartz,
David J. Berpikir dan Berjiwa Besar: The Magic of Thinking Big, alih
bahasa F.X. Budiyanto. Jakarta: Binarupa Aksara, 1996.
Sternberg,
Robert J. How Practical and Creative Intelligence Ditermine Success in Life:
Successfully Intelligence. New York: A Plume Book, 1996.
Tim Broad Base Education, Konsep Pendidikan Bagi Masyarakat Luas: Berorientasi Kecakapan Hidup (Broad Based
Education), Buku I (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional ,200
[1] Tim Broad Base Education, Konsep Pendidikan Bagi Masyarakat
Luas: Berorientasi Kecakapan Hidup
(Broad Based Education), Buku I (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
,2001) , p.7.
[2]
Ibid., p. 9
[3] Gordon
Dryden dan Jeannette Vos, The Learning Revolution: To Change the Way the
World Learns (New Zealand: The Learning Web, 1999), p. 19 – 36.
[4] Bobbi
DePorter dan Mike Hernachi, Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan
Menyenangkan, terjemahan Alwiyah Abdurahman (Bandung: Kaifa, 1992), p. 14.
[5] “AMBAK”
merupakan singkatan dari “Apa Manfaatnya BAgiKu?”. AMBAK merupakan
istilah yang digunakan dalam quantum learning yang diyakini dapat menimbulkan sugesti
positif.
[6] “AHA”
adalah ekspresi emosional ketika seseorang menemukan sesuatu yang dicarinya,
memahami atau dapat melakukan dengan baik tentang sesuatu yang dipelajarinya,
berhasil menyelesaikan masalah yang dihadapinya, atau sejenis keberhasilan
lainnya.
[7]
Ibid., loc. cit.
[8]
Daniel Goleman, Emotional Intelligence (London: Bloomsbury, 2000), p.
140.
0 komentar:
Posting Komentar